top of page
Cari
Gambar penulisLies Marcoes-Natsir

Pemotongan Rambut dan Pendisiplinan Jilbab

Dalam bentuknya yang berbeda-beda, penghukuman kepada murid perempuan yang dianggap melanggar aturan dalam penggunana jilbab bukanlah isu baru. Peristiwa terbaru adalah pencukuran / penggundulan rambut bagian depan 19 siswi SMP Negeri 1 Sidodadi, Lamongan, Jawa Timur. Sebelumnya di tahun 2021, protes seorang siswi non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Ia merasa dipaksa menggunakan jilbab sebagai atribut agama menjadi viral. Peristiwa itu berakhir dengan pernyatakan dari pihak sekolah bahwa penggunaan jilbab tidak dipaksakan karenanya membebaskan kepada sang murid untuk memilih. Namun, ia dan keluarganya mendapatkan bullying dari masyarakat yang menganggap tindakan sekolahnya sudah benar.


Tulisan ini membedah kasus penggundulan itu untuk melihat secara lebih luas apa yang sebenarnya terjadi. Dengan menggunakan teori “relasi kuasa” dari filsuf Prancis Michel Foucault, kita dapat melihat bagaimana relasi kuasa beroperasi dalam kasus penggundulan itu. Misalnya relasi antara guru-murid, guru penertib disiplin dengan murid yang didisiplinkan, antara kelembagaan kedinasan pendidikan di tingkat daerah dengan pihak sekolah, atau antara pihak sekolah dengan orang tua murid yang jadi korban.



Dalam pandangan feminis, peristiwa pemaksaan pengunaan jilbab dengan menghukum siswi serupa ini merupakan penjabaran lebih jauh dari konsep relasi kuasa baik relasi politik maupun relasi gender sebagaimana digagas Foucault. Dua relasi dimaksud merupakan penyederhanaan gambaran relasi yang melihat aspek politik dan jenis kelamin sosial (gender) sebagai unsur paling dominan yang menjadi basis ketimpangan hubungan antara pelaku dan korban. Dalam konsep itu relasi kuasa sangat terkait dengan kuasa atas pengetahuan yang punya efek pada penindasan.


Melampaui gagasan relasi kuasa Foucault, peristiwa penggundulan itu merupakan contoh paling sempurna dari beroperasinya relasi kuasa yang nyaris tanpa control akibat masuknya kuasa atas penertiban disiplin yang ditetapkan sepihak terkait etika baik-dan buruk yang diambil dari sudut pandang primordial agama. Hal itu terjadi ketika sang pemilik kuasa (guru) bukan hanya merasa sedang dikontrol oleh atasanya (kepala skeolah, komite sekolah, UPTD, Kemendikbud) yang sedang menugasi mereka untuk menjalankan kewajibannya dalam menertibkan disiplin murid-muridnya, tetapi juga merasa bahwa mereka sedang didaulat Tuhan untuk menertibkan perintah agama dalam kewajiban menutup aurat.


Namun sikap mereka sangat boleh jadi tak semata-mata didorong oleh pandangan primordial personal mereka melainkan karena adanya aturan yang ambigu. Aturan tentang penggunaan jilbab biasanya merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 59/2014 mengenai kuriulum Nasonal 2013 yang tak pernah dianulir. Dalam peraturan itu disebutkan soal tata tertib berpakaian point 1.4 “ Berpakaian sesuai dengan syariat Islam dalah kehidupan sehari-hari”. Pernyataan ngambang itu dalam kenyataannya menuju kepada satu tafsir tentang kewajiban menggunakan jilbab sesuai kehendak sang pemilik kuasa, dalam hal ini sekolah/guru.


Karenanya para pembela dari tindakan guru itu juga tak kurang-kurang, dan karenanya tak mengherankan kemudian memunculkan kontroversi. Dalam berbagai media para pembela guru itu menyatakan bahwa tindakan sang guru sudah benar. Mereka sedang menertibkan akhlak muridnya sesuai perintah agama (Islam).


Namun solusi atas peristiwa itu pada kenyataannya tak menyentuh inti persoalan tentang siapa yang punya hak untuk menentukan moralitas seseorang dalam penggunana jilbab. Pihak sekolah dan Dinas terkait (Dinas Kemendikbud setempat) hanya mengatasi kebakarannya dan bukan sumber apinya. Mereka mengunjungi orang tua murid untuk menjelaskan duduk persoalannya yaitu soal penertiban disiplin berjilbab yang diakui agak kebablasan.




Dapat dibayangkan dalam relasi kuasa tidak setara itu, pihak orang tua murid harus menerima penjelasan bahwa tindakan dimaksud sesungguhnya bertujuan baik untuk pendisiplinan. Dan dengan menyatakan permohonan maaf sambil mengambil tindakan penon-aktifan sementara sang guru, persoalan dianggap selesai.


Tapi siapapun tahu bahwa inti persoalannya bukan disitu. Setidaknya ada dua persoalan mendasar dari peristiwa ini. Pertama, terkait dengan pertanyaan klasik, apakah jilbab diwajibkan di sekolah termasuk di sekolah negeri yang, seperti SMK 2 Padang, siswanya tak melulu Muslim, atau tak semua meyakini jilbab adalah kewajiban agama?


Atau, apakah jilbab menjadi bagian dari atribut/seragam sekolah yang tak terhubung dengan suatu keyakinan meskipun sumbernya bisa berasal dari keyakinan. Jika jilbab merupakan atribut sekolah dan bersifat wajib (dari sisi peraturan sekolah) maka harus tersedia landasan filosofis rasional atas kebijakan itu yang terbebas dari alasan primordial/keyakinan. Harus ada penjelasan yang berlaku umum tentang kewajiban penggunaan jilbab sebagaimana kewajiban menggunaan seragam merah, biru, abu-abu untuk seragam sekolah tingkat SD, SMP dan SMA. Konsekwensi dari itu, maka penggunaan jilbab harus diwajibkan bagi seluruh pelajar putri di seluruh Indonesia apapun agama dan keyakinannya.


Namun sebaliknya jika kewajiban penggunan jibab terkait dengan keyakinan agama, maka penggunan jilbab tak dapat dijadikan dasar tata tertib dan pendisiplinan yang berlaku umum di sekolah. Dengan begitu jilbab harus dianggap sebagai pilihan bebas murid. Itu juga berarti terlarang untuk menggunakan power yang tersedia dalam relasi guru murid, lembaga sekolah dan masyarakat untuk mengkondisikan pemaksaan penggunaan jilbab sebagaimana saat ini kerap diterima lamporannya oleh para pegiat HAM. Misalnya laporan murid yang mendapat angka merah hanya gara-gara tak bersedia memakai jilbab atau seperti kasus di atas, mengalami pendisplinan dengan kekerasan.

Persoalan kedua, dan ini lebih rumit lagi adalah soal seberapa jauh seseorang atau suatu lembaga merasa punya mandat dan kuasa untuk mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan dengan menggunakan ukuran-ukuran primordial dan subyektifitasnya? Landasan apa yang digunakan dalam penertiban itu dan siapa yang harus bertanggung jawab? Di batas mana penertiban itu menjadi tanggung jawab sekolah dan mana yang menjadi porsi tanggung jawab keluarga dan masyarakat?


Pertanyaan filosofis serupa itu pada dasarnya bersumber pada pertanyaan klasik soal pemisahan urusan keyakinan yang subyektif dengan urusan publik yang universal dan rasional pada relasi-relasi di ruang public seperti di sekolah.


Aspek lain dalam teori relasi kuasa Foucault adalah soal pengetahuan sebagai sumber kuasa. Dalam relasi kuasa guru-murid itu bertumpuk secara berlapis, kuasa yang dimiliki sang guru. Masalahnya aspek kuasa itu tak diatur secara terbuka dan obyektif melalui peraturan sekolah atau undang-undang. Misalnya, siapa yang dapat mengontrol kuasa guru atas penilaian baik- buruk muridnya, kuasa atas pemberian mark/ angka/, kuasa atas penentuan nilai kepintaran dan kepatuhan muridnya, kuasa atas kebenaran pandangan ilmu yang diajarkannya (mata pelajaran yang diampunya) serta, kuasa atas pemahaman keyakinan.

Melampaui pandangan Foucault yang membuktikan bahwa “pengetahuan” selalu punya efek kuasa, dalam kasus pemaksaan penggunaan jilbab, dengan jelas tergambar bahwa keyakinan/ agama menjadi sumber kuasa sang guru yang tak dapat didebat. Dalam situasi serupa itu cukup dimaklumi jika sulit untuk mengakui dan melihat kekeliruan dari penghukuman itu karena mereka merasa sedang menjadi polisi ahlak sebagai perintah Tuhannya.

1 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page