top of page
Cari
Gambar penulisPuan Amal Hayati

Islam Tidak Menganjurkan Perkawinan Anak

Oleh: Khalilatul ‘Azizah

Meminjam istilah Mohammad Noor, seorang Hakim Pengadilan Agama, bahwa perkawinan anak ibarat melepas tentara yang belum terlatih. Jangankan memenangkan pertempuran, mengoperasikan senjata pun belum mampu. Mereka memasuki medan tempur tanpa wawasan yang memadai serta nihil keterampilan. Tujuan ideal Islam terhadap perkawinan, yakni mewujudkan rumah tangga yang sakinah dan saling membahagiakan berlandaskan mawaddah serta rahmah akan sangat sulit dicapai ketika dilakukan oleh mempelai di usia yang belum matang. Perkawinan anak tak ubahnya membiarkan mereka menjadi korban pertempuran yang tidak seimbang.


Secara definitif, perkawinan anak adalah perkawinan legal atau tidak legal secara hukum yang terjadi pada anak di bawah usia 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Data dari badan kesehatan dunia (WHO) memperlihatkan bagaimana perempuan yang hamil di bawah usia 15 tahun lima kali lebih besar risiko kematiannya saat melahirkan. Rantai dampak negatif dari praktik kawin anak pun nyata adanya. Antara lain berdampak pada peningkatan angka putus sekolah anak, risiko besar kematian bayi, kematian ibu melahirkan pun melonjak karena baik sisi mental maupun sistem reproduksinya belum siap. 




Terputusnya pendidikan juga akan berimbas pada sulitnya mendapat akses ekonomi karena minimnya keterampilan yang dimiliki. Pengetahuan dan kondisi mental anak yang belum matang dalam menghadapi persoalan rumah tangga sering berujung pada kekerasan hingga perceraian. Tersebab perkawinan meniscayakan fungsi dan peran yang memerlukan kecakapan serta keterampilan tertentu, maka usia yang mencerminkan kematangan mental serta bobot psikologis yang selaras dengan fungsi dan peran yang akan dijalankan dalam perkawinan, mutlak harus menjadi pertimbangan. 


Tak sedikit masyarakat yang melegitimasi perkawinan anak dengan argumen agama. Yang terpopuler dijadikan dalil adalah kisah Rasulullah SAW menikahi Aisyah saat berusia enam tahun, meskipun baru hidup bersama saat menginjak usia sembilan tahun. Dalam penelusuran Majelis Tarjih Muhammadiyah (dalam Perkawinan Anak Tidak Dianjurkan: Perspektif Tarjih Muhammadiyah, 17/3/2020), secara sanad hadis tersebut dinilai bermasalah. Riwayat tentang usia Aisyah saat menikah tadi hanya berasal dari Hisyam bin ‘Urwah. Sementara itu ia meriwayatkan hadis tersebut saat di Irak dan sudah berusia uzur, sekitar 71 tahun. Para ahli menyatakan bahwa ingatan Hisyam di usia senjanya sangat menurun. Malik bin Anas sebagaimana penuturan Syaibah pun menolak riwayat Hisyam yang disampaikan ke masyarakat Irak. Pendek kata, riwayat hadis tersebut terbilang lemah untuk dijadikan legitimasi kawin dini.


Demikian halnya menurut Quraish Shihab, bahwa terlalu angkuh mengaku meneladani Nabi sebagai dalih perkawinan anak. Lebih lanjut, menurutnya tak semua tindakan Rasulullah SAW bisa diikuti oleh umatnya, termasuk menikahi anak di bawah umur. Pada beliau melekat keistimewaan-keistimewaan tertentu yang tak dimiliki manusia lain sehingga Nabi berhak melakukannya. Sementara itu, tiap ketetapan hukum di tengah kita mesti didahului pertimbangan serta permenungan yang menyangkut tempat, waktu, pelaku, serta kondisi. Sebab peradaban bergulir, tantangan manusia makin kompleks, pengetahuan berkembang. Dinamika tersebut mesti diimbangi dengan penyesuaian tata aturan hukum yang relevan menjawab situasi. 


Perlu adanya pembacaan ulang atas teks sembari memperhatikan konteks serta kondisi obyektif kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, pendekatan feminis penting guna memperkuat upaya pembentukan pandangan rekonstruktif yang berorientasi pada pemberdayaan perempuan serta menolak praktik perkawinan anak. Lebih lanjut pendekatan tersebut dipadu dengan metodologi seperti halnya maqashid syariah untuk menghasilkan produk hukum yang selaras dengan penghargaan kemanusiaan dan mampu merespons tantangan. Di sinilah justru kredo tentang relevansi ajaran Islam untuk tiap masa dan wilayah menemukan maknanya. 


Perkawinan dini terbukti jauh lebih banyak mendatangkan mudarat. Karenanya kaidah “dar’u al-mafasid muqaddam-un ‘ala jalb al-mashalih” (menolak mudarat sesuatu lebih diutamakan ketimbang mengambil manfaatnya) pun berlaku. Efek buruk dari perkawinan dini bertentangan nyaris dengan seluruh prinsip dan tujuan-tujuan syariat (maqashid syariah) yang mana berorientasi pada penjagaan jiwa, kehormatan, agama, akal, keturunan, juga harta.


Ketidaksetujuan Islam dengan praktik pernikahan dini juga dapat dipahami dari jawaban Nabi saat menanggapi lamaran sahabat Abu Bakar serta sahabat Umar terhadap putri beliau, Sayyidah Fatimah. Secara eksplisit Rasulullah mengatakan, “Dia masih kecil” [HR. al-Nasa’i, Ibn Hibban, dan al-Hakim]. Betapa jelas poin pertimbangan Nabi dalam menikahkan anaknya adalah aspek usia, di mana Sayyidah Fatimah tak mungkin dinikahkan saat masih kecil. Terlepas dari kritik sanad atas riwayat tentang usia perkawinan Sayyidah Aisyah dan bahwa pernikahan itu adalah kekhususan bagi Nabi, Nadirsyah Hosen memandang, Nabi tidak ingin perkawinannya dengan Sayyidah Aisyah yang masih kecil terulang pada sang putri, yang menurut sebagian riwayat menikah dengan sahabat Ali pada usia 12 tahun. Lebih jauh hal tersebut nampak sebagai upaya Nabi untuk menggeser batas usia perkawinan pada saat itu.


Pernikahan merupakan perjanjian atau ikatan yang kokoh (al-mitsaq al-ghalizh) antara dua insan, di mana Allah menjadikan akad pernikahan sebagai landasan pembangunan keluarga yang harus diiringi prinsip saling memenuhi hak dan kewajiban agar terbina kehidupan serta hubungan yang baik satu sama lain. Islam adalah agama yang berorientasi pada pemuliaan dan perlindungan kepada manusia. Kemaslahatan umat manusia sangatlah dikedepankan, sehingga sangat perlu dipertanyakan dan ditinjau ulang ketika ada praktik muamalah yang menggandeng agama sebagai pembenaran namun justru berakibat buruk bagi orang yang bersangkutan. Dengan demikian, otomatis  praktik kawin anak yang penuh mudarat tersebut hakikatnya tidak didukung oleh ajaran Islam.


Tujuan perkawinan yang disyariatkan Islam ialah terwujudnya ketenteraman dengan pondasi cinta dan kasih sayang yang diupayakan oleh suami istri. Dan untuk merawat keutuhan keluarga, Islam sendiri menetapkan sejumlah rambu-rambu, yang antara lain adalah prinsip musyawarah, bertukar pikiran dengan asas kesetaraan dalam urusan apapun. Kemudian, sebagai suatu ikatan perjanjian yang sakral, Islam menyertai pernikahan dengan rangkaian syarat ketentuan yang ketat dan terperinci untuk membangun relasi sehat saling menghormati serta menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban pasangan suami istri. Selain itu, dalam konteks talak, spirit Islam adalah meminimalisir terjadinya perpisahan. Ada mekanisme mediasi yang dicanangkan Islam dan mendorong agar dialog bisa menjembatani riak-riak masalah dalam rumah tangga.


Melihat gambaran beratnya tanggung jawab serta tantangan perkawinan, dapat dipahami bahwa yang bisa menjalaninya adalah mereka yang kiranya telah memiliki kesiapan, baik dari segi psikis, kematangan mental, kesehatan fisik, kemampuan mengelola finansial, hingga kapasitas intelektual dan spiritual. Sulit bahkan mustahil anak-anak sanggup menjalaninya. Wallahu a’lam. []

10 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page