top of page
Cari
Gambar penulisLies Marcoes-Natsir

Gus Dur dan Dua Arus Gerakan Feminis di Indonesia

Tak diragukan, Gus Dur adalah tokoh pembela hak asasi manusia. Secara lebih khusus ia membela hak kebebasan beragama, hak berkeyainan, dan hak berpolitik. Sebagai presiden, Gus Dur telah mengeluarkan aturan tentang hak beragama bagi penganut Kong Hu Chu dan kini diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Gus Dur juga pernah mengeluarkan kebijakan politik yang mengakui hak dan martabat orang-orang Papua sebagai hak yang setara dengan suku-suku lain di Indonesia. Hal yang lebih penting adalah keberanian Gus Dur dalam mengeluarkan kebijakan tentang upaya mengembalikan hak-hak hidup mereka yang dirampas oleh peristiwa politik seperti G30S.


Tak terbatas pada basis-basis sentiman suku, ras, etnisitas, agama/keyakinan, status sosial serta keadaan ekonomi, Gus Dur telah memperjuangkan keadilan berbasis perbedaan jenis kelamin dan perbedaan gender. Tercakup didalamnya pembelaan kepada perempuan dalam lapisan-lapisan sosial yang berpotensi menjadi basis diskriminasi, seperti perempuan dengan status sosial yang dianggap tidak memenuh standar moral orang kebanyakan.

Tulisan ini memberikan konteks latar belakang bagaimana dasar-dasar kesetaraan gender diperjuangkan oleh Gus Dur. Bukan hanya melalui Inpres 9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG), upaya Gus Dur yang lebih subtantif adalah terkait pemikiran kebudayaan yang mengakar pada tradisi yang diberi makna lebih progresif.




Kebijakan PUG atau Inpres no 9/2000 yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid merupakan rujukan hukum paling sahih dalam upaya kesetaraan dan keadilan gender. Mengiringi kebijakan itu tersedia dua alat analisis pratis yang dapat memandu cara mengimplementasikan konsep kesetaraan gender ke dalam program-program Pembangunan. Kedua pirati dimaksud adalah Gender Analysis Pathway (GAP) dan Pedoman Penganggaran Responsif Gender (PPRG). Keduanya disusun dan diujicobakan oleh Bappenas, KPPPA, Kementerian Keuangan dan sejumlah LSM dengan asistensi dari para ahli gender seperti Ibu Yulfita Raharjo dari LIPI.


Etin Anwar dalam bukunya A Genealogy of Islamic Feminism: Pattern and Change in Indonesia mencatat bahwa salah satu karakter dari gerakan feminis Indonesia adalah bertemunya dua arus feminis yaitu feminis sekular dan feminis muslim baik dalam pemikiran maupun aksi. Dalam kata lain ada konvergensi atau perjumpaan pemikiran dan aksi sebagaimana dialami oleh sejumlah aktivis dari kedua “kubu” itu sebagai para saksi hidup.

Dimaksud dengan feminis sekuler dalam tulisan ini adalah mereka yang sepenuhnya mengandalkan argumentasi rasional beralaskan kerangka akal budi atau filsafat. Karenanya rujukan mereka adalah konvensi internasional, aturan hukum dan regulasi untuk pemenuhan hak asasi kaum perempuan. Sementara bagi kalangan feminis Muslim mereka mendasarkan agumentasi pada keyakinan bahwa agama Islam adalah agama yang adil bagi lelaki dan perempuan karena Tuhan menciptakan manusia setara sebagai mahluk.


Berdasarkan kredo itu mereka meyakini tak mungkin salah satu punya kuasa lebih atas yang lain. Bangun pemikirian itu tak datang tanpa dasar. Mereka menggalinya dengan tetap mengandalkan akal budi atau alam fikiran filsafat serta ilmu-ilmu sosial lainnya. Hal yang berbeda adalah rujukan metodologis dalam menggali kebenaran yaitu argumen agama (yang basisnya keyakinan), tafsir atau kaidah-kaidah ushul fikih sebaga metodologi.

Perjumpaan di antara dua aliran itu biasanya berangkat dari gugatan kalangan feminis sekular yang gugatannya menerobos wilayah iman terkait isu gender, sesuatu yang oleh kelompok agama tak berani dipersoalkan. Misalnya soal mengapa lelaki mendapatkan warisan dua kali lipat dari perempuan, atau mengapa lelaki boleh berpoligami, atau mengapa lelaki dianggap sebagai pemimpin bagi perempuan atau perempuan dibatasi geraknya di luar rumah.


Dalam pandangan kalangan feminis, konstruksi sosial dan gender telah meletakkan secara berbeda dan berjenjang antara lelaki dan perempuan. Mereka juga meyakini konstruksi sosial bukanlah sesuatu transendental dan kekal. Mereka melihat dampak dari konstruksi yang meletakkan keduanya secara tidak setara menyebabkan perempuan mengalami subordinasi dalam stuktur masyarakat yang berpusat kepada lelaki (patriarki). Hal itu telah mengakibatkan munculnya ragam situasi buruk pada peremuan atau kepada mereka yang secara stuktural dilemahkan seperti perempuan meskipun berjenis kelamin lelaki. Misalnya para budak, buruh, anak-anak, orang dengan disabilitas atau mereka yang berorientasi seksual di luar mainstream. Kelompok-kelompok itu rentan mengalami proses pemiskinan atau marjinalisasi ekonomi, pelemahan dalam politik atau subordinasi, rentan mengalami kekerasan seksual yang keseluruhannya berpangkal dari prasangka negatif kepada eksistensi dan kemampuan perempuan atau mereka yang dilemahkan seperti perempuan.


Menghadapi gugatan serupa itu reaksi umat beragama biasanya terbelah dua: pertama menganggap gugatan itu berangkat dari pemikiran sesat dan atau “Barat” yang memberi kebebasan seluas-luasnya menanyakan hal tabu tanpa tedeng aling-aling. Sementara kelompok kedua menyadari gugatan itu sahih tapi salah Alamat. Sebab bagi mereka munculnya situasi buruk pada perempuan itu bukan disebabkan oleh ajaran agama melainkan karena pemahaman agama yang dimanipulasi demi kepentingan patriarki. Karenanya kelompok kedua bersetuju untuk melakukan koreksi atas ajaran agama yang didasari keyakinan bahwa agama (Islam) seharusnya membawa rahmat dan keadilan bagi manusia yang dalam kehidupan sehari-hari dapat dirasakan dan dilihat wujudnya.

Namun bagaimanapun perbedaan pijakan dalam menggugat pesoalan yang sama itu telah mempertemukan kedua aliran itu pada pemahaman tentang apa itu keadilan atau kesetaraan sebagaimana mereka lihat dalam beragama fenomena di banyak negara.

Di era Pembangunan di Indonesia, perjumpaan dua arus besar feminisme ini terjadi di awal tahun 90 -an. Tentu saja perjumpaan itu tak gampang bahkan dapat dikatakan berangkat dari perselisihan esensialis. Pihak feminis sekuler secara sereotype dan generalisir menganggap agama sebagai sumber persoalan. Mereka menganggap kalangan agama telah terbelenggu oleh keyakinan yang tidak membebaskan dari praktik sehari-hari yang menindas dan merendahkan perempuan.


Sementara kalangan aktivis perempuan Muslim, yang kala itu tidak berani menyebut diri sebagai feminis, menganggap tuduhan itu salah sasaran, sebab yang dipersoalkan kalangan feminis adalah hal-hal yang particular yang dalam ajaran Islam sendiri bukanlah sesuatu yang mutlak. Misalnya soal poligami, tak kurang-kurang keluarga tafsir ajaran yang juga menyoal isu itu dan keluarga Muslim yang menolak praktik poligami dan basis penolakannya adalah keyakinan agama. Atau tak sedikit keluarga Muslim yang membagi secara merata warisan, atau mengizinkan perempuan beraktivitas di luar rumah sebagaimana kaum lelaki.

Harus diakui perjumpaan kedua arus itu dalam konteks Indonesia dijembatani oleh orang-orang yang diterima dan dapat berbicara dalam satu frekwensi dengan kalangan feminis sekuler. Salah seorang yang mengambil peran itu adalah Gus Gur.


Kalangan feminis sekuler, harus diakui, merupakan kalangan elit dengan pendidikan dan bacaan filsafat dan ilmu-ilmu humaniora serta pengembaraan wawasan yang sangat luas. Sudah barang tentu di era itu referensi yang tersedia umumnya masih dalam Bahasa Inggris.

Ketika politik kependudukan Indonesia memutuskan untuk mengendalikan ledakan penduduk, kalangan agama bereaksi keras, tak hanya Islam. Kala itu Gus Durlah yang menyampaikan argumentasi dengan bahasa agama ke lingkungan umat Islam utamanya kalangan NU dan pesantren. Sebaliknya kepada pemerintah, Gus Dur menggunakan bahasa hak asasi manusia/perempuan agar pemerintah tidak melakukan pemaksaan dan koersi dalam mengkampanyekan program KB. Ernyataan ini tentu tak bermaksud menihilkan upaya serupa yang dilakukan oleh kiai kiai besar seperti kiai Sahal Mahfudz dengan melakukan bacaan sosial dengan kacamata pesantren.


Demikian halnya dalam isu-isu lain yang digugat oleh kalangan feminis sekular. Kepada mereka Gus Dur menyampaikan argumentasi sosial yang dikenali sebagai referensi oleh kalangan feminis secular. Sementara ke kalangan organisasi perempuan Islam Gus Dur memperkenaklan ragam metodologi yang dikenal dalam hasanal pemikiran pesantren seperti konsep Daruriatul Khoms dari Imam Ghazali atau Asy Syatibi.


Dalam pengantar buku Hiroko Horikoshi, “Kiai dan Perubahan Sosial” (1987) Gus Dur telah menjelaskan peran penting kiai, nyai, pesantren dalam perubahan sosial di Masyarakat. Dalam aktivitasnya di sejumlah LSM yang bergerak dalam isu kesehatan peproduksi perempuan seperti PKBI,P3M, atau di PBNU Gus Dur memperkenalkan kaidah-kaidah ushul fikih yang tujuannya memberikan argumentasi tentang dasar-dasar perlindungan Islam kepada perempuan termasuk dalam isu-isu yang sangat sensitif.


Karenanya, jika sekarang ribuan ulama perempuantercerahkan dan menjadi pelaku kampanye dan advokasi tentang hak-hak perempuan seperri dalam jaringan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), maka hal itu dimungkinan karena adanya konvergensi dua aliran feminis yaitu feminis sekuler dan feminis Muslim. Perjumpaan itu dimungkinkan karena ada yang menjembataninya yaitu Gus Dur alias K.H. Abdurrahman Wahid yang dihormati dan dipercaya oleh kedua belah pihak.

2 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Komentarze


bottom of page